Lentera Alena

Alena terdiam di ujung tebing. Satu tangannya menggenggam erat tali lentera apung yang menyala. Satu tangan lainnya menggenggam bilah kayu yang menjadi pagar pembatas tebing dan laut di bawahnya. Tatapan Alena terpaku pada matahari yang hendak pamit. Sebentar lagi mungkin. Alena mengalihkan pandangannya pada lentera yang ia genggam talinya. Menghadirkan kenangan atas lentera-lentera lain yang dulu pernah ada disana. Dulu, ketika matahari masih sepenggalan naik, ada lebih dari satu lentera yang talinya ia genggam. Sebelum satu persatu menjadi abu, menyisakan satu yang apinya pun tak lagi membara. Meski begitu, cahayanya masih cukup untuk menemani Alena.
Beberapa hari yang lalu, sebuah bisikan bertanya pada Alena. Apakah ia yakin akan berhasil menerbangkan lenteranya ke langit sana? Alena hanya menjawab, "Insyaallaah..". Bisikan itu menyela,, menolak 'insyaallaah' Alena. Lalu menyuarakan berbagai tanya mengapa dan kalimat lain yang Alena hanya mampu terbata membalasnya.
Mata Alena menjadi perih. Dan airmata mengalir begitu saja, saat itu, juga setiap saat kenangan bisikan itu kembali.
Karena apa yang bisikan itu sampaikan begitu benar, Alena tergugu. Karena apa yang bisikan itu sampaikan Alena tak bisa melakukannya, Alena menjadi sesak.
Kembali menatap lenteranya,, lalu matahari yang mulai beranjak pamit, Alena berbisik lirih.
"Allaah,, Lena tak tahu, apakah lentera ini akan terbang tinggi ke langit sana sebelum malam tiba,, Atau ia akan jatuh terjerembab ke laut yang tak berdasar di bawah sana,, ijinkanlah Lena, menjaganya agar tak menjadi abu yang teronggok. Agar ia merasakan melayang meski sekejap. Allaah,, can I have a little hope?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

it's addict!

Ikhlaskan saja.