Selalu ada

Kami ketuk pintu rumah itu.
Salah satu rumah dari deretan rumah kontrakan, berpintu kayu, berdinding tripleks dan catnya yang putih telah tak lagi putih.
Tak ada jawaban.
Kami ucapkan salam,, "Assalamu'alaykum warahmatullaah.."
Jarum jam terus berjalan, tak peduli kami yang masih berdiri di depan pintu itu.
"Assalamu'alaykum... Bapak nya ada?"
Lagi, kami mencoba. Menguji sebuah usaha.
"Bapak tidak ada."
Sebuah suara perempuan yang menjawab.
Aku hanya diam. Antara sudah terbiasa dengan jawaban itu. Atau tidak tahu apa yang harus dilakukan. Atau memang keduanya.
Sepasang tangan yang ukurannya takjauh lebih besar dari tanganku, ku genggam erat. Rasa asing dengan lingkungan dimana aku berada, juga rasa benci,- entah pada tempat aku berdiri, pada perintah Mama agar aku datang ke tempat, pada perempuan yang menjawab pertanyaan kami tadi, atau pada apa,- membuatku tak ingin melepaskan genggaman itu.
Sekali lagi, pemilik tangan yang ku genggam itu berucap.
"Apa Bapak akan segera pulang?"
Tanyanya lagi,, pada perempuan di balik pintu yang tak pernah terbuka setiap kami datang kemari.
Jalan tanah setapak di depan rumah ini adalah tempat yang sama yang aku jejaki setiap kali 'berkunjung'.
"Tidak tahu."
Kami saling berpandang.
Tatapan kami menyiratkan banyak hal.
Ketakutan pulang ke rumah membawa kabar sesuai apa yang diberitahukan perempuan itu.
Kesangsian bahwa apa yang diucapkan perempuan itu adalah benar.
Kebosanan atas jawaban yang selalu sama setiap kali berdiri di depan pintu ini, menanyakan hal yang sama.
Apakah Bapak ada???
Pengalaman berkali-kali datang ke tempat itu mengajari kami dua hal.
Bahwa pintu itu tidak akan pernah terbuka untuk kami,,
Bahwa kami harus segera berbalik badan, karena tak akan ada kalimat mempersilahkan kami masuk untuk menunggu Bapak.
Aku lupa, apakah kami pamit dan mengucap salam sebelum kami pulang dan membawa kecewa, lagi-lagi begitu.. Atau tidak.
Yang aku ingat, kami pulang, dan dalam hati, pertanyaan itu terpatri.
Apakah Bapak ada?
Apakah Bapak ada?
Apakah Bapak ada?
Bertahun kemudian, logika ku menjawabnya.
Bapak tidak ada.
Bapak tidak ada.
Hanya ada Mama.
Itu saja.
Dan bertahun kemudian, sebuah kabar membuatku kembali berpikir.
Kabar itu berucap,, "setiap kali kami berdiri di depan pintu rumah kontrakan berpintu kayu, berdinding triplek yang catnya tak lagi putih itu,, ada seorang lelaki berumur yang bersembunyi di balik dinding triplek kamarnya, berbisik dalam hatinya. Berbisik, 'Bapak ada, Nak. Bapak disini.'...
Kabar itu, membuatku kembali berpikir,,
Bahwa meski tersembunyi dibalik keadaan yang tak pernah bisa anak ini mengerti, Bapak selalu ada.
Bapak selalu ada.
Bapak selalu ada.

05 Feb 2017.

Bapak selalu ada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

it's addict!

Ikhlaskan saja.