Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2017

Lentera Alena

Alena terdiam di ujung tebing. Satu tangannya menggenggam erat tali lentera apung yang menyala. Satu tangan lainnya menggenggam bilah kayu yang menjadi pagar pembatas tebing dan laut di bawahnya. Tatapan Alena terpaku pada matahari yang hendak pamit. Sebentar lagi mungkin. Alena mengalihkan pandangannya pada lentera yang ia genggam talinya. Menghadirkan kenangan atas lentera-lentera lain yang dulu pernah ada disana. Dulu, ketika matahari masih sepenggalan naik, ada lebih dari satu lentera yang talinya ia genggam. Sebelum satu persatu menjadi abu, menyisakan satu yang apinya pun tak lagi membara. Meski begitu, cahayanya masih cukup untuk menemani Alena. Beberapa hari yang lalu, sebuah bisikan bertanya pada Alena. Apakah ia yakin akan berhasil menerbangkan lenteranya ke langit sana? Alena hanya menjawab, "Insyaallaah..". Bisikan itu menyela,, menolak 'insyaallaah' Alena. Lalu menyuarakan berbagai tanya mengapa dan kalimat lain yang Alena hanya mampu terbata membala

Selalu ada

Kami ketuk pintu rumah itu. Salah satu rumah dari deretan rumah kontrakan, berpintu kayu, berdinding tripleks dan catnya yang putih telah tak lagi putih. Tak ada jawaban. Kami ucapkan salam,, "Assalamu'alaykum warahmatullaah.." Jarum jam terus berjalan, tak peduli kami yang masih berdiri di depan pintu itu. "Assalamu'alaykum... Bapak nya ada?" Lagi, kami mencoba. Menguji sebuah usaha. "Bapak tidak ada." Sebuah suara perempuan yang menjawab. Aku hanya diam. Antara sudah terbiasa dengan jawaban itu. Atau tidak tahu apa yang harus dilakukan. Atau memang keduanya. Sepasang tangan yang ukurannya takjauh lebih besar dari tanganku, ku genggam erat. Rasa asing dengan lingkungan dimana aku berada, juga rasa benci,- entah pada tempat aku berdiri, pada perintah Mama agar aku datang ke tempat, pada perempuan yang menjawab pertanyaan kami tadi, atau pada apa,- membuatku tak ingin melepaskan genggaman itu. Sekali lagi, pemilik tangan yang