Garam: Secukupnya
Alkisah, di suatu kota hujan yang
kini lebih sering terik, hiduplah seorang pria yang istimewa.
Ia adalah seorang penyampai ilmu
yang cerdas.
Ia juga seorang suami yang baik.
Dan anggota masyarakat yang
kontributif.
Ia melibatkan diri dengan
kegiatan masyarakat sebaik dan seaktif ia mampu.
Termasuk, ketika kegiatan
perayaan kemerdekaan negerinya tiba.
Berbagai lomba diadakan. Tidak
hanya untuk saling bersaing, juga untuk menghibur.
Untuk itu, dibuatlah sebuah
perlombaan memasak. Bukan lomba memasak biasa, tentu.
Karena kali ini, yang dibolehkan
untuk ikut bertanding adalah para suami.
Setiap peserta hanya
diperbolehkan datang membawa diri masing-masing.
Tanpa catatan, tanpa bumbu
rahasia.
Hanya dirinya.
Bahan masakan dan peralatan sudah
tersedia.
Bagian pendukung datang berbeda
rute.
Menu yang harus dimasak adalah;
Nasi goreng.
Ia, yang adalah seorang suami
yang baik, sudah sering memasakkan nasi goreng untuk istri dan keluarganya.
Dengan itu, ia bergumam dalam
hati. “Gampaaaang… Saya pasti jadi juara.”
Perlombaan dimulai. Ia amati satu
persatu bahan masakan yang disediakan.
Dan ia mulai tersenyum.
Tersenyum.
Tersenyum, kecut.
“Alamaaaak.. apa ini?”
Ia menemukan beberapa kantung
bahan makanan yang tak ia kenal. Butiran-butiran seukuran mata ikan mas kecil dua
kantung. Satu berwarna, hm.. sebut saja agak krem tua. Satu lainnya agak hitam
gelap dan lebih kecil.
Ia temukan juga sebuah kantung
plastik putih berisi balok berukuran sekitar 8 cmx 8cm x 8cm berwarna putih
kotor.
“Ya, Allah… itu pasti garam. “
gumamnya lagi.
Dan ia pun menemukan secarik
kertas berisikan resep nasi goreng yang harus ia masak hari itu.
“Innalillaahi..”
Seakan telah terjadi bencana
besar, ia berujar.
“Garam: secukupnya.”
“Tidak.”
Ia sangat tidak suka kata itu.
Secukupnya.
Ia benar-benar tidak suka.
Namun, suka atau tidak suka, ia
harus menggunakannya dan mulai membuat nasi goreng itu.
Lama berselang. Mencampur ini dan
itu. Menggerus balok yang ia yakini adalah garam. Lalu menaburkannya pada
masakannya yang sudah terpanasi di wajan dihadapannya; secukupnya.
Ketika hasilnya sudah diserahkan
pada juri, ia hanya bisa tersenyum
Tersenyum.
Tersenyum, kecut.
Ia gagal.
“Gampaaaang… Saya pasti jadi juara.” Sudah tak berlaku.
Ia tahu, ia kalah.
Bukan hanya karena ia tak tahu
mana butiran merica, mana butiran ketumbar, karena selama ini ia tinggal
memakai merica dan ketumbar bubuk yang disediakan istrinya.
Tapi juga karena kalimat
itu.
“Garam: Secukupnya”
…
(Mr. Lucky's story)
Demikianlah.
Kata “Secukupnya” bisa jadi
begitu menyebalkan.
Karena 'secukupnya' tak pernah
punya takaran pasti.
Ia selalu relatif.
Relatif siapa yang merasa, siapa
yang mengeksekusi, siapa yang memakai.
Secukupnya.
Sesendok sambal cabe rawit hijau
mungkin cukup bagi semangkuk baso kesukaanku.
Mungkin bagimu terlalu banyak,
atau malah kurang.
Maka, kata “secukupnya” itu
memang tak boleh diganti. Ia akan selalu ada, pada resep masakan misalnya.
Bahkan, seorang professor
sekalipun tak boleh mengganti kata “secukupnya” itu. Karena tak pernah ada
takaran pasti.
Dua halaman bacaan Al-qur’an
mungkin cukup untuk melengkapi ibadah harianku.
Mungkin dua juz baru bisa
membuatmu merasa ‘memiliki’ hari yang lengkap.
Maka biarlah kata itu tetap
disana.
Dalam buku resep karya koki
terhandal,
Dalam petunjuk pemakaian facial foam, sampo,,,
Dan diantaranya,
Dalam kisah kita.
Secukupnya.
Komentar
Posting Komentar