Berhentilah, karena sudah cukup.
Berhentilah.
Ketika langkahmu hampir mencapai puncak.
Cukup.
Dan kembalilah.
Cukupkan langkahmu disini.
Kembalilah.
Biarkan perkiraanmu tetap indah.
Karena jika kamu lanjutkan langkahmu, mencapai puncak, lalu
kamu lihat ia tak seindah bayanganmu,,,
Mungkin kamu akan kecewa.
Jadi, berhentilah.
Cukup disini.
Di-hampir sampai di puncak.
Lalu kembalilah.
Biarkan ia tetap seindah bayangan yang kamu ukir di
kepalamu.
Biarlah.
Tetap indah.
…
Kira-kira, begitulah saduran kalimat yang aku ambil dari
sebuah novel milik Tere Liye.
Novel yang judulnya Sunset bersama Rossie.
Sudah pernah baca?
Sudah agak lama memang novel itu terbit. Tapi, jika kamu
baru akan membacanya setelah aku ceritakan, its ok.
Ada beberapa makna yang cantik yang bisa kamu temui disana.
Salah satunya, yang aku ketikkan di atas.
Cerita awalnya, begini diceritakan di novel itu;
Alkisah, ada seorang mahasiswa yang sedang berlibur di
sebuah pantai di Gili Trawangan.
Ia dan teman-temannya bermain snorkeling dan diving ditemani
seorang pemandu.
Setengah jam berlalu sejak ia dan teman-temannya bermain,
terjun ke laut, menikmati keindahan di dalamnya.
Lalu ia kembali ke perahu.
Pemandunya yang tak ikut serta terjun sejak awal merasa
heran, kenapa cepat sekali mahasiswa itu kembali.
Lalu, mahasiswa itu menjawab, bahwa ia sudah merasa cukup.
Ia sudah cukup melihat keindahannya.
Ia tidak mau lebih jauh lagi.
Ia khawatir,
lebih jauh ia berenang, bukan keindahan yang ia temui.
Ia sudah cukup meyakinkan dirinya bahwa pantai itu, laut itu
dan isinya indah.
Cukup.
Ia tak ingin menghancurkan anggapan itu.
Jadi ia mengakhiri petualangannya, dan kembali.
Jika aku dan kamu jadi dia, apakah juga akan seperti dia?
Mengakhiri kesenangan dalam kata ‘cukup’.
Lalu menyimpan kenangan dan hipotesis bahwa “laut di pantai
ini adalah indah” itu baik-baik.
Tanpa merasa perlu menjelajahinya lebih jauh.
Cukup.
Cukup.
Cukup.
J
Komentar
Posting Komentar