Boneka Kuning Anelka.
“Nel, sudah beres
semuanya?”
Sebuah suara bass
memanggilnya dari sebuah perjalanan memori.
Anelka tersenyum,
alih-alih menjawab.
Tangannya lalu terampil
melipat beberapa pakaian dari pangkuannya. Pakaian-pakaian itu sedari tadi ia
tempatkan di pangkuannya agar ia lebih mudah melipatnya.
Namun, disela
kegiatannya itu, sebuah benda mengalihkan perhatiannya.
Sebuah buku kecil.
Buku kecil, tipis namun
sangat penting.
Sebegitu pentingnya
hingga mengingatkannya akan sebuah masa.
Suatu ketika, di waktu
yang telah berlalu…
…
***
“Nel,, cepat bereskan
mainanmu lalu mandi!”
Seorang gadis kecil
yang sedang asyik bermain masak-masakan di teras samping rumah segera menoleh.
“Iya, Bu.. sebentar
lagi.” Jawabnya.
“Cepat, Nel.. Keburu
Ayah datang…”
Ayah
datang. Bukan Ayah
pulang.
Uuuhhh!
Memangnya kenapa kalau Ayah datang?. Kan tidak masalah kalau saat Ayah datang,
Nelka masih bermain.. ? Gerutu gadis itu dalam hati.
“Iya, Bu… Sebentar..!”
Kesal gadis itu Nampak jelas pada nada balasan yang ia lontarkan.
“Anelka!”
Tiba-tiba sebuah suara
keras dari jarak dekat mengagetkannya.
“Ibu sudah menyuruhmu membereskan mainan itu dua kali.
Jangan sampai Ibu suruh untuk ketiga kali ya.. dan jangan menjawab pada Ibu
dengan teriakan. Tidak sopan itu!”
Suara ibu yang dilengkapi
dengan mata melotot yang menyeramkan itu sudah sangat cukup untuk membuat sang
gadis kecil ketakutan. Dengan terburu-buru ia membuang ‘masakan’ yang sudah ia
buat dan memasukkan peralatan ‘masak’-nya ke dalam keresek.
“Anelka! Itu tanahnya
berceceran di lantai, yang benar membereskannya!”
Ibu menegur masih dengan nada tingginya.
Iya,
iya,, sebentar Nelka bereskan.. Kalimat itu hanya
bisa ia lontarkan dalam hati. Bisa berabe
kalau ia lisankan langsung.
Ah
Ayah, setiap datang ke rumah, selalu saja merepotkan. Hanya datang untuk makan,
mengobrol sebentar dengan ibu. Marah-marah kalau ada yang menurutnya tidak
sesuai dengan pemikirannya. Menegur anak-anaknya dengan emosi tinggi. Bahkan
tak jarang bertengkar dengan ibu. Sekalian saja tidak usah datang!
Lagi-lagi gadis kecil
itu hanya mengggerutu dalam hati.
“Sudah dibereskan
semuanya, Nelka? Mengapa mukamu ditekuk seperti itu?”
Suara ibu sudah lebih
kalem.
Gadis kecil bernama
lengkap Anelka Hidayat itu masuk ke dalam rumah dengan muka agak kusut. Kekesalannya
belum hilang.
“Sudah. Tidak kenapa-kenapa, Bu.” Bohong.
“Ya sudah, mandi dulu.
Nanti ayah ingin bertemu kamu.”
Aku?
Untuk apa Ayah ingin bertemu denganku?
“Baik, Bu.” Jawabnya
cepat. Lalu berlalu.
^-^
Matahari belum beranjak
ketika seorang pria paruh baya mengetuk pintu rumah.
Ibunya, seorang
perempuan yang usianya bertaut dua tahun di bawah pria itu segera membukakan
pintu.
Meraih tangan sang
pria, lalu mempersilahkan masuk.
Pria itu adalah ayah.
Seseorang yang sedari
tadi ditunggu ibu.
Bercakap sejenak, Ibu
beranjak ke dapur untuk membuatkan
minuman dan menyediakan kudapan.
Anelka yang sejak tadi
memperhatikan kedatangan Ayah, takut-takut berdiri di belakang pintu kamar.
Sebuah ruangan yang dipisahkan oleh dinding dengan tempat Ayahnya berada.
“Nel, sini..” suara
Ayah yang berat mengejutkan Anelka. Ternyata Ayah sudah menyadari kehadirannya
sejak awal.
Anelka beringsut masuk
ke ruang tamu dengan sedikit ogah.
Salim, lalu duduk di
kursi bersebrangan dengan pria yang berstatus ayahnya itu.
Ya, status.
Status saja.
“Ini, Ayah tadi membeli
boneka Susan. Ada yang berbaju kuning, ada yang berbaju merah muda. Anelka mau
yang mana?”
Suara berat itu berubah
menjadi lembut.
Anelka diam sambil
memperhatikan kedua boneka yang ditawarkan ayahnya.
“Yang mana, Nelka?
Kuning atau merah muda?” Ayah mengulangi pertanyaan yang sama.
Anelka tidak tahu akan
memilih yang mana. Kedua boneka itu cantik. Ia ingin keduanya.
“Anelka hanya bisa
memiliki satu boneka. Satu boneka lagi untuk Berlian.” Jelas Ayah, seperti
mengerti bahwa Anelka menyukai kedua boneka itu.
“Kuning.” Jawabnya
cepat. Ia tahu, ia tak mungkin mendapatkan kedua boneka itu. Ada Berlian, gadis
kecil sebaya dengannya, yang juga adalah putri ayahnya.
“Baik, ini untukmu. Dan
boneka merah muda ini untuk Berlian.”
Ayah
tak perlu menegaskan boneka itu untuk Berlian. Tidak perlu Ayah!
Entah gerutuan ke berapa yang ia lakukan kali ini.
Ia menerima boneka itu
dengan senyuman yang dipaksakan.
“Tidak bilang ‘terima
kasih’, Nel?” suara Ibu tiba-tiba muncul seiring Ibu yang sudah selesai
menyiapkan minuman dan kudapan.
“Terima kasih.” Ucapnya
ragu.
Ayah menjawabnya dengan
senyuman.
Anelka lalu mulai
berkenalan dengan boneka itu.
Beranjak dari ruang
tamu, menuju kamar.
_Bersambung_
mana sambungannya neng, jadi penasaran,,, ternyata kita sama,sama2 suka menulis cerpen :)
BalasHapus