Perempuan dan Penghidupan
Perempuan dan
penghidupan.
Sebuah pesan
muncul di whats app grupku yang selalu ramai setiap hari, padahal isinya hanya
berlima.
Ku kira, hanya
pesan biasa. Percakapan antara lima anak perempuan yang bersahabat sejak lama.
Tidak.
Pesan itu
istimewa, setidaknya bagiku.
Mengingatkanku
akan suatu hal.
Pesan itu cukup
panjang. Sangat panjang malah.
Isinya, tentang
cuplikan sebuah talk show di sebuah stasiun tv, Mata Najwa.
Edisi kali itu,
bintang tamunya adalah seorang srikandi abad 21, walikota Surabaya.
Kenal?
Tidak. Saya
hanya tahu beliau.
Ibu Risma yang
saya tahu dari media.
Beliau saat ini
sedang berjuang menutup sebuah lokalisasi di daerahnya.
(Berkebalikan
dengan seorang wakil gubernur
metropolitan Indonesia yang malah berniat membuat lokalisasi di wilayahnya)
Sebuah
lokalisasi, yang terjadi atas dalil buruknya keadaan ekonomi.
Lalu ‘terpaksa’ self-selling…
Dan yang umumnya
‘dijual’ adalah perempuan.
Entah karena
‘dipaksa’ atau memang ‘atas kesadaran diri sendiri yang berkebutuhan secara
ekonomi’.
‘Tak ada jalan
lain’
‘Tak punya
pendidikan’
‘Tak punya
pilihan lain’
Dan entah
kenapa, yang self-selling sebagian
besar adalah perempuan.
Ayah mereka
kemana? Berjuang menggapai rezeki di tempat lain atau bagaimana?
Suami mereka
kemana?
Atau mereka
memang ‘tidak punya’ ayah, apalagi suami?
Teringat kembali
ucapan mama beberapa hari lalu.
Cerita beliau
tentang salah satu kenalannya, yang bercerita tentang keadaan usahanya
berjualan di pasar tradisional.
Kenalan mama itu
bilang, “Nya kitu we, Bu. Diusahakeun we, da pami henteu mah bade kumaha.” (Ya,
begitu saja, Bu. Diusahakan saja, karena kalau tidak begitu mau bagaimana.)
Lalu mama
bertanya tentang suami ibu itu. Dan ia berujar bahwa sang suami bekerja sebagai tukang
ojek, ketika ia mau. Ketika lain, hanya beristirahat di rumah.
Alhamdulillah,,
meski keadaan ekonomi ibu itu kurang, beliau masih berusaha berdagang di pasar
tradisional dan tak sampai harus self-selling.
Meski saat itu
keningku berkerut, kenapa suaminya hanya berusaha sedemikian?
Mungkinkah para
perempuan yang bekerja di lokalisasi itu tidak dibiayai suaminya, lalu buntu
akal melakukan self-selling?
Aku tak boleh
menyimpulkan tanpa bukti dan data yang benar.
Teringat pula
sebuah quote pada media sosial yang
tak sengaja ku baca.
“Perempuan
terbuat dari tulang rusuk. Jangan jadikan ia tulang punggung.”
Seratus persen
aku setuju dengan quote tersebut.
Karena dalam hal
berumah tangga, memang kewajiban menjadi tulang punggung bukan berada pada bahu
perempuan.
Tapi, apa
kenyataannya?
Di luar sana,
masih banyak para perempuan yang terpaksa atau sukarela, menjadi tulang
punggung.
Alhamdulillah,
ketika pilihan usahanya masih berada dalam koridor norma kemasyarakatan
(minimal). Nau’dzubillah, ketika pilihan usaha itu telah carut marut dalam
jurang … (tidak tega menuliskannya).
Well, karena aku
sendiri memang tumbuh pada keadaan orang tua single parent fighter, maka aku sangat menghargai para perempuan
yang berjuang menjadi tulang punggung keluarganya; karena kebutuhan.
Dan aku tak
pernah bisa menyalahkan kaum perempuan yang berkebutuhan ekonomi untuk menjadi
itu.
Ketika memang
sudah tidak ada sosok adam yang menjadi tulang punggung.
Tapi sangat
disayangkan ketika pilihan para perempuan tangguh itu adalah jurang …
Ayolah,, betapa
banyak pekerjaan lain yang bisa dijalani untuk medapat penghidupan.
Seperti sosok
ibu yang menjadi pemulung, yang ku lihat malam tadi.
Bersama,
mungkin, anaknya, berbekal karung putih bekas, mengais setiap tumpukan sampah
di jalan dan emper toko.
Terlintas satu
pikiran, akankah aku seberani beliau dipandang sebelah mata oleh orang lain,
dianggap ‘hina’, demi mencukupi kebutuhan hidup ketika suatu saat nanti
(mungkin) aku tak punya jalan lain menjemput rizki dariNya?
Atau malah
(naudzubillahimindzallik) memilih menjadi ‘simpanan’???
Naudzubillaahimindzalik..
InsyaAllah bukan
keduanya.
Aku pikir, tidak
akan terjadi kedua hal itu, insyaAllah, ketika seseorang terdidik.
Terdidik, bukan
ter-sekolah.
Maksudku,
terdidik tidak selalu berarti harus sekolah.
Pendidikan bisa
diperoleh di rumah, kan?
Dari seorang
ibu.
Madrasah pertama
seorang anak.
Pendidikan
tentang tauhid.
Pendidikan tentang
hidup zuhud, sehingga kebutuhan ekonomi berjalan normal. Tidak berambisi
memiliki hal-hal yang memang tidak perlu. Mobil mewah, untuk apa? Untuk dijual
lagi, mungkin J
Gadget terkini, padahal
tidak tahu juga mengoperasikannya, hanya turut trend.
Jika persoalan
lokalisasi itu diurai menjadi pohon masalah, entah berapa cabang yang akan
terjadi.
Lokalisasi itu
tak serta merta karena kebutuhan ekonomi.
Ia terbentuk
dari banyak hal,
Jiwa yang tak
beragama,
Jiwa yang tak
terdidik,
Lingkungan yang
buruk,
Jerat rentenir,
Pendidikan
wirausaha,
Realisasi amanah
pemerintah untuk menanggungjawabi fakir miskin dan anak terlantar,
Penyediaan
sekolah yang berkualiltas,
Penyuluhan
wirausaha,
Kelembagaan
ekonomi masyarakat,
Empati antar
masyarakat,
….
Ya Allah,,
semoga Engkau berkenan melimpahkan kekuatan dan keberkahan bagi mereka-mereka
yang berjuang untuk mencari penghidupan yang Engkau ridhai..
_Selintas
pikiran…_
Komentar
Posting Komentar