Sepatu dan 'Seseorang'
Miza hanya bisa
tertegun.
Pertanyaan itu
begitu tiba-tiba.
Untung saja
pertanyaan itu dilontarkan via telepon, bukannya bertemu langsung.
Kalau tidak,
mungkin saat ini Miza juga harus menyetel musik kencang-kencang agar Hitoshi tak mendengar
degub jantungnya yang tiba-tiba memainkan genre
rock n roll.
Pikirannya sesak,
selayaknya kereta ekonomi kala musim mudik tiba.
“Lalu, bagaimana dengan aku?”
Kalimat dengan
empat kata itu begitu lancar ditujukan Hitoshi padanya.
Sebuah pertanyaan
yang sangat mampu membekukan tubuh Miza dalam satu waktu.
Kamu???
Entahlah, Toshi… kamu adalah orang yang selalu ada disaat aku sedih, bahagia, bahkan dikala aku tak merasa
apapun. Kamu selalu punya telinga untuk mendengarkanku meski badanmu telah
menjalani jam kerja full time sebelumnya. Kamu tak pernah memutus ceritaku
meski jam dijital di handphone mu sudah menunjukkan larut malam. Kamu juga tak
pernah ijin tidak mendengarkan ceritaku ketika aku menelponmu tepat pada saat
kamu menjalankan pekerjaanmu. Kamu tak pernah memarahiku ketika aku salah. Kamu
hanya mengatakan sebaiknya aku seperti ini, melakukan itu, tanpa pernah
memaksaku untuk melakukannya. Hanya memberi saran. Lalu kamu menghargai apa
yang aku putuskan. Menghargainya, dan mendukungnya.
Aku hanya cukup me-miss
call-mu, dan kamu akan segera menelponku.
Aku hanya perlu mengetik status sakit untuk
membuatmu khawatir lalu menceramahiku panjang lebar tentang pentingnya
kesehatan.
Kamu bersedia membelikan yang
aku minta, meski itu sulit dan terkadang aneh.
Kamu sering bertanya apa yang
aku mau sebagai oleh-oleh ketika kamu akan pergi ke suatu tempat.
Kamu
dan segala perhatian dan waktumu untukku,,,
Dan aku, tak punya cukup stok kepercayaan diri untuk
menjadi rekan hidupmu.
Tidak saat ini.
Suatu saat nanti, mungkin...
Setelah sekian menit berbicara dengan diri sendiri
dan mengacuhkan Hitoshi di ujung telepon sana,, Miza menjawab...
“Entahlah, Toshi… yang aku tahu, aku hanya meminta pada Allah untuk
menganugrahiku seseorang yang berkenan mendengarkan semua ceritaku tanpa pernah
mengeluh bahwa aku cerewet. Tanpa pernah berkomentar bahwa keluhanku tidak
penting. Tanpa pernah memotong ucapanku hanya karena ia lelah. Seseorang yang
berkenan berdiskusi denganku tanpa pernah memaksakan solusinya padaku.
Seseorang yang dengan antusias menanggapi segala impianku dan mendukungnya
tanpa pernah khawatir aku akan melalaikan kewajibanku atas dia. Seseorang yang
tak pernah merasa direndahkan olehku dengan segala anugrah Allah padaku.
Seseorang yang… sepertimu. Jika Allah
menciptakanmu untukku, suatu saat kita
akan bersama sebagai rekan hidup. Pasti.”
***
Demikianlah.
Miza dan Hitoshi sudah lenal lama. Bertahun-tahun.
Tapi itu tak menjadikan Miza yakin menerima Hitoshi ketika Hitoshi
‘menawarkan diri’ menjadi rekan hidupnya.
Mengapa?
Tanya Miza saja langsung… hehe..
Kalau menurut pendapat saya,, *yang bukan ahli pernikahan tapi sudah
banyak pengalaman pernikahan a.k.a kisah pernikahan orang terdekat,- sih,, karena apa yang ada sebelum pernikahan
tak akan selalu sama ketika setelah pernikahan.
Mereka yang melalui proses ‘pengenalan’ bertahun-tahun, tetap tak
mampu memahami pasangannya padahal anak mereka sudah ada dua, satu diantaranya
bahkan sudah duduk di bangku kelas tiga SD. Tetapi ada pula yang
-alhamdulillah- bisa saling memahami dan menjadi tim yang cukup solid untuk
membangun keluarga yang kece dunia dan akhirat.
Mereka yang ta’aruf selama beberapa bulan lalu menikah,,, ada yang
‘terseok’ menjalani kehidupan, ada pula yang saling membahu menuju ridho-Nya.
Do desuka?
Mengapa demikian?
Hm.. mungkin,, ini berkaitan dengan penerimaan.
Penerimaan bahwa seseorang yang kau nikahi adalah seseorang yang
Allah anugrahkan padamu. Sehingga, pasti ada hikmah indah dari itu.
Allah selalu memberi kita yang terbaik, kan? Sepahit apapun terasa
oleh kita. Namun, berlapanglah menunggu untuk sampai pada saat indah itu Allah
tampakkan. Saat ketika Allah
menampakkan alasanNya memilihkan dia untukmu.
Demikian mungkin yang mereka -berhasil bertahan tetap mencintai dan
memperlakukan pasangannya dengan baik-; rasakan, lakukan.
Hehe,, sok tahu ya.. :p
Bukan sok
tahu,, hanya mencoba mengambil hikmah dari pengalaman orang lain J
Beberapa kali aku mendengar kalimat ini;
“Rekan hidup itu tidak seperti sepatu. Pernikahan
itu tidak seperti memakai sepatu.”
Emang iya lah ya.. :D
Hehehe,,
Maksud dari kalimat itu sebenarnya begini.
Memilih pasangan dan menjalani pernikahan adalah
hal yang serius.
Tidak seperti memilih sepatu dan memakai sepatu,,
(meski bagi saya memilih sepatu dan memakai sepatu
juga adalah hal yang serius. Jangan sampai salah model, hindari salah warna,
harus yang nyaman dipakai plus harganya sesuai dana yang dipunyai ^^. Memakai
sepatu jangan sampai salah tempat, salah acara,, masa pakai sepatu dengan hak
tinggi ke lahan praktikum penanaman kacang kedelai.. Mau ganti tugal dengan
heells-nya? :D )
Maksudnya, “rekan hidup kita bukan sepatu” adalah
bahwa tidak seperti sepatu yang bisa dengan seiring berganti tahun, seiring
berganti acara, seiring lamanya waktu pakai,,, diganti dengan sepatu lain.
“Pernikahan tidak seperti memakai sepatu”,, tidak
boleh dengan mudah mengganti atau bahkan memensiunkan sepatu yang telah dipakai
karena sepatu itu sudah rusak atau sudah ketinggalan jaman, misalnya.
Rekan hidup adalah pribadi yang memiliki jiwa,
pemikiran, keinginan, ruh dan hati.
Ketika seseorang ‘merasa’ rekannya sudah (maaf)
membosankan, tidak asik lagi, tidak up to
date,, maka ia TENTU tidak bisa seenaknya mengganti rekan hidupnya. Tetapi
me-refresh jiwa, pemikiran, keinginan, ruh, dan hati rekan hidupnya itu,,
mengusahakan agar rekan hidupnya menjadi pribadi yang menyenangkan baginya,,
atau mengevaluasi diri,, jangan-jangan ia menjadi penyebab atas semua kebosanan
yang terjadi. Bukan malah memalingkan muka dan berlalu.
Dari awal pernikahan,, kesadaran bahwa rekan
hidupnya adalah yang terbaik dari Allah,, meski mungkin bukan orang yang ia
sebut namanya dalam doa di setiap sujudnya,, harus ditanamkan elok-elok.
Karena Allah selalu memberi yang terbaik.
Meski (mungkin) ada saat-saat dimana merasa sangat
ingin mengganti sepatu, eh, rekan hidup,, ketika teringat, tersadar kembali
bahwa ia adalah yang terbaik dari Allah,, maka keinginan itu akan menghilang,,
(semoga, insyaaAllaah)...
Jadi, ketika telah dengan kesadaran
sesadar-sadarnya ketika memilih seseorang untuk menjadi rekan hidup, atau
dengan kesadaran dan kerelaan serela-relanya menerima pinangan seseorang untuk
dijadikan rekan hidup,, lalu suatu ketika di dalam episode pernikahan ada yang
berbeda dari ketika sebelum pernikahan,, maka ingatlah seingat-ingatnya hal
ini,, J
“Ia yang menjadi rekan hidupmu adalah yang terbaik
dari Allah. Yang terbaik, yang terbaik, yang terbaik.”
Catatan
Hati Penampung Curhatan Pernikahan.. J
02
September 2014.
Komentar
Posting Komentar