Ketika sahabatku...

Kabar itu,,
datang tiba-tiba.
Ketika dia datang dan berkunjung.
Menjengukku.
Sudah lama kami tidak bertemu.
Meski begitu, kami tak pernah putus kontak.
Telepon atau sms, kami terbiasa menjalaninya meski hanya beberapa hari sekali.

Seketika, aku teringat dengan awal pertemuan kami.
Aku tak mengenalnya dengan dekat.
Ia adalah sahabat dari sahabatku.
Dan sungguh, saat ini, aku tak tahu apa yang membuatnya (tiba-tiba) menjadi seseorang yang selalu ingin ada disisi.
Tak ingin siapapun merebutnya.

Egois ya...

Dan kabar itu, sejenak aku hadapi dengan sangat diplomatis.
Seperti biasa,
Aku yang memang mantan anggota dewan di kampusku, menanggapi kabar itu dengan kalimat-kalimat yang menunjukkan kestabilan emosiku.

Selang beberapa menit.
Tiba-tiba aku menjadi serupa dengan anak kecil yang dipamiti ayahnya yang hendak pergi ke tempatnya bekerja.
Mengeluh, merajuk, meminta agar tak ditinggalkan.
Seketika aku lontarkan kemarahanku dan kalimat-kalimat rajukanmu bahwa aku membenci pekerjaan ayahku yang membuatku harus jauh darinya.

Tapi, aku tak bisa apa-apa.
Ayahku akan tetap berangkat bekerja dan aku tetap tinggal di rumah.
Tapi, hey!
Bukankah itu hal yang baik?
Ayah berangkat bekerja dengan terlebih dahulu pamit padaku.
Bukannya menyelinap pergi diam-diam dan tiba-tiba aku kehilangan dan mendapati ia pergi tanpa sapaan dan tanpa pelukan hangat?

Bahkan, mungkin dengan pamit itu, ia akan selalu teringat wajah manisku yang menunjukkan betapa sayangnya diriku padanya, sehingga ia enggan berlama di tempat bekerja dan segera kembali.

Meski kabar itu tak sama dengan seorang ayah yang berangkat bekerja.
Dan kenyataannya, aku tak tahu apa rasanya dipamiti seorang ayah ketika beliau berangkat bekerja.. ^^

Kabar itu telah lebih dari beribu detik berlalu.
Dan aku masih mencoba merayumu untuk tetap tinggal.
Tapi ia menolak, dan berkata ia harus segera pergi.
Meski begitu, ia masih baik.
Membiarkanku menahannya untuk beberapa menit lagi.
Duduk di sampingku, menatapi satu per-satu kendaraan yang berlalu.

Namun, hari semakin siang. Aku tahu.
Ia harus segera berangkat.

Seketika aku belajar memahami 'cinta'.
Bahwa ia adalah kata kerja yang membuatmu hanya ingin melihat yang kau cintai bahagia.

Dan aku pun (mencoba) lapang dengan segala keputusannya.

Kebahagiannya adalah yang terpenting.
Ketika ia bahagia, bodoh jika aku tak ikut bahagia.
Karena aku sahabatnya, kan?

Sahabat akan selalu bahagia ketika sahabatnya bahagia.

Bahkan, dengan keputusannya, tak pernah berarti ia akan melupakanku dan membiarkanku duduk 'pundung' sendiri di sudut tembok kan?

Ia akan tetap ada ketika aku perlu.
Jika tak berwujud kehadiran,
Aku tahu.
Aku yakin.
Doa dan ingatannya akan selalu ada untukku.

Melangkahlah, sayang.
Aku tak akan pernah menjadi penghalang kebahagiaanmu.
Mungkin aku akan menangis.
Tapi tenanglah,
Tangisan ini akan mendewasakanku.
Aku yakin.
^^

Dan terima kasih atas bedol kosannya empat atau lima tahun lalu.
Itu, membahagiakan :)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

it's addict!

Ikhlaskan saja.